Di tengah derasnya arus informasi, moralitas menghadapi tantangan baru. Apa yang dulu dianggap salah kini sering diperdebatkan, bahkan dilihat sebagai sesuatu yang wajar. Ruang digital menciptakan medan sosial yang membuat setiap orang merasa memiliki otoritas untuk menilai, mengomentari, dan membenarkan pendapatnya secara publik. Ketika opini dikemas seolah fakta, batas etika makin sulit dibedakan.
Kajian humaniora menyoroti bahwa moralitas tidak hanya terbentuk dari norma masyarakat, tetapi juga dari kemampuan individu merefleksikan dampak sosial dari tindakannya. Tanpa proses refleksi, moralitas mudah tergeser oleh dorongan emosi sesaat.
Media sosial mendorong budaya kecepatan: cepat menyukai, cepat setuju, cepat marah. Namun kecepatan ini sering mengurangi kedalaman analisis moral. Ketika suatu isu viral, banyak orang ikut menilai tanpa memahami konteks. Moralitas instan ini sering membentuk polarisasi, bukan pemahaman.
Humaniora memandang fenomena tersebut sebagai pergeseran moralitas yang dipengaruhi algoritma. Konten yang memancing emosi cenderung lebih terlihat, sehingga pengguna terdorong bereaksi impulsif. Reaksi ini lambat laun membentuk apa yang disebut “moralitas performatif”, yaitu tindakan moral yang dilakukan bukan berdasarkan keyakinan, tetapi demi terlihat baik di hadapan publik.
Pertanyaan penting muncul: apakah nilai moral masih bisa diajarkan ketika standar benar-salah dianggap relatif? Banyak ahli humaniora percaya moralitas tetap dapat dibangun, namun melalui pendekatan berbeda. Alih-alih memaksakan aturan, pendidikan moral perlu menekankan nalar kritis, literasi digital, dan kemampuan mengenali dampak sosial dari setiap tindakan.
Institusi pendidikan mulai menerapkan pembelajaran berbasis kasus, dialog kelas, dan eksplorasi etika lintas budaya. Pendekatan ini mendorong mahasiswa memahami bahwa meskipun nilai budaya beragam, empati dan tanggung jawab sosial adalah fondasi moralitas universal.
Dalam konteks humaniora, moralitas selalu melibatkan pilihan pribadi. Teknologi tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku merugikan. Meskipun ruang digital menciptakan ilusi anonimitas, setiap tindakan tetap memiliki konsekuensi sosial.
Tanggung jawab moral muncul ketika individu menyadari bahwa kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan kesadaran dampak. Itulah sebabnya literasi etika digital menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa itu, masyarakat akan terus terjebak dalam siklus konflik dan polarisasi.
Humaniora memandang moralitas sebagai entitas yang dinamis. Nilai-nilai tertentu dapat menyesuaikan perubahan zaman, namun inti moralitas—keadilan, empati, tanggung jawab—selalu relevan. Tantangan terbesar bukan pada perubahan nilai, melainkan pada bagaimana manusia menavigasi kompleksitas sosial modern.
Era digital membutuhkan moralitas yang reflektif, inklusif, dan peka terhadap keragaman. Nilai-nilai tersebut tidak hilang, justru semakin penting untuk menjaga keseimbangan di dunia yang bergerak cepat.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini