Budaya Diam Yang Menghambat Perubahan Di Lingkungan Kampus


Muhammad Rizky
Muhammad Rizky
Budaya Diam Yang Menghambat Perubahan Di Lingkungan Kampus
Budaya Diam Yang Menghambat Perubahan Di Lingkungan Kampus

Budaya diam merupakan salah satu persoalan yang jarang dibahas, tetapi sangat memengaruhi kualitas kehidupan kampus. Banyak mahasiswa yang memilih untuk tidak bersuara ketika melihat ketidakadilan, peraturan yang tidak relevan, atau perilaku intimidatif dari kelompok tertentu. Diam dianggap lebih aman daripada mengambil risiko. Namun budaya diam yang dibiarkan terus menerus membuat kampus stagnan dan jauh dari nilai intelektual yang seharusnya dijunjung.

Normalisasi Ketidakadilan dalam Aktivitas Kampus

Di berbagai kampus, aktivitas akademik dan organisasi sering kali berjalan tanpa ruang kritik. Ketika mahasiswa mempertanyakan sistem penilaian yang kurang transparan, kebijakan kampus yang tiba-tiba berubah, atau proses administrasi yang berbelit, respons yang mereka terima seringkali berupa pengalihan, bukan penyelesaian. Kondisi ini membuat banyak mahasiswa merasa bahwa suara mereka tidak memiliki pengaruh apa pun.

Normalisasi ketidakadilan ini diperkuat oleh sikap pasrah. Jika sebagian besar mahasiswa memilih diam, maka pihak yang memiliki otoritas tidak merasa perlu melakukan perbaikan. Pada akhirnya, masalah kecil yang seharusnya bisa dibenahi sejak awal berubah menjadi persoalan struktural yang semakin kompleks.

Ketakutan terhadap Stigma dan Reputasi

Banyak mahasiswa yang enggan menyampaikan kritik karena takut dicap sebagai pembuat masalah. Mereka khawatir reputasinya di mata dosen, organisasi, atau teman akan terpengaruh. Dalam ekosistem kampus yang sangat sosial, stigma semacam ini menimbulkan tekanan besar. Akibatnya, kritik yang seharusnya membangun malah ditekan ke dalam ruang pribadi.

Ketakutan seperti ini membuat kampus kehilangan kesempatan berdialog. Padahal kampus adalah tempat untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, keberanian intelektual, dan kemampuan berdiskusi secara sehat. Jika mahasiswa takut berbicara, maka nilai-nilai pendidikan tinggi hanya tinggal teori tanpa praktik.

Minimnya Ruang Partisipasi Mahasiswa

Ada kampus yang memiliki forum resmi untuk mahasiswa menyampaikan masukan, tetapi tidak semua forum tersebut benar-benar difungsikan. Banyak yang berakhir hanya sebagai formalitas tanpa tindak lanjut. Mahasiswa, pada akhirnya, tidak melihat adanya manfaat dari menyampaikan pendapat. Hal ini memicu keputusasaan dan menjadikan budaya diam semakin kuat.

Partisipasi mahasiswa seharusnya dihargai sebagai bagian integral dari tata kelola kampus. Kritik mahasiswa adalah cermin yang dapat membantu institusi melihat realita dari perspektif yang tidak selalu tampak dari sudut pandang birokrasi.

Dampak Psikologis dan Sosial

Budaya diam tidak hanya mempengaruhi kualitas kebijakan kampus, tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental mahasiswa. Ketika mereka merasa tidak bisa menyampaikan ketidaknyamanan, beban emosional menjadi semakin berat. Kejadian seperti perundungan, diskriminasi, atau tekanan sosial bisa saja terjadi berulang tanpa ada intervensi karena korban dan saksi memilih diam.

Lingkungan yang memelihara budaya diam juga memperlemah solidaritas antar mahasiswa. Alih-alih membangun komunitas yang saling menopang, suasana kampus berubah menjadi ruang di mana setiap orang sibuk menghindari masalah, bukan mencari solusi.

Menghidupkan Kembali Tradisi Dialog yang Sehat

Kritik sosial terhadap budaya diam diperlukan agar kampus bisa kembali kepada esensi utamanya: ruang intelektual. Mahasiswa perlu menyadari bahwa suara mereka penting, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk kenyamanan generasi berikutnya. Perubahan dimulai dari keberanian bertanya, berpendapat, dan mengungkapkan hal yang tidak sesuai nilai-nilai pendidikan.

Institusi kampus juga perlu menyediakan kanal komunikasi yang benar-benar berfungsi, mendengarkan secara terbuka, dan memberikan tindak lanjut yang nyata. Dengan begitu, mahasiswa akan merasa didengar dan dihargai sebagai bagian penting dari ekosistem pendidikan.

Budaya diam dapat diputus dengan keterbukaan dan keberanian. Ketika ruang dialog dibangun dengan kesadaran kolektif, kampus menjadi lingkungan yang lebih sehat, adil, dan sesuai dengan idealisme pendidikan tinggi.


RajaBacklink.com: Jasa Backlink Murah Berkualitas - Jasa Promosi Website Banner Bersponsor

Suka

Tentang Penulis


Muhammad Rizky

Muhammad Rizky

Mahasiswa - Universitas Ma'soem

Penulis Bandung

Tulis Komentar


0 / 1000