Banyak mahasiswa memilih untuk kuliah sambil bekerja, baik sebagai freelancer, barista, admin media sosial, hingga pekerjaan paruh waktu lainnya. Alasannya beragam: ingin mandiri secara finansial, menambah pengalaman, atau sekadar mencari pemasukan tambahan untuk bertahan hidup di kota besar. Tren ini semakin kuat karena biaya hidup dan tuntutan kompetensi di dunia kerja semakin meningkat. Namun di balik kesan produktif dan ambisius, terdapat realita yang tidak selalu terlihat oleh publik.
Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja kerap menghadapi tekanan besar yang tak semua orang pahami. Mereka harus membagi tenaga, pikiran, dan waktu secara ekstrem. Tidak jarang, pekerjaan membuat mereka tertinggal dalam perkuliahan. Ada yang harus mengerjakan tugas pada tengah malam usai shift, ada yang melewatkan acara kampus karena bergantian jaga, dan ada pula yang menahan rasa lelah agar tetap bisa fokus di kelas.
Dari luar terlihat produktif, tetapi dari dalam banyak yang menyimpan kelelahan emosional mendalam. Mereka ingin berprestasi, tetapi juga perlu memenuhi kebutuhan hidup. Keduanya sering berbenturan tanpa kompromi.
Meski berat, kuliah sambil bekerja tetap memberikan keuntungan besar. Banyak mahasiswa menjadi lebih mandiri, tangguh, dan matang secara mental. Pengalaman profesional membantu mereka memahami dunia kerja lebih cepat dibanding teman seangkatannya. Beberapa bahkan langsung mendapatkan jalur karier setelah lulus karena rekam jejak mereka sudah terbentuk sejak dini. Perusahaan juga kerap mengapresiasi mahasiswa yang mampu mengatur waktu dengan baik karena menunjukkan komitmen dan kedewasaan.
Namun, manfaat ini tidak otomatis muncul. Semua bergantung pada bagaimana mahasiswa mengelola ritme hidupnya dan memilih pekerjaan yang relevan atau setidaknya tidak merusak kesehatan mental.
Mahasiswa yang kuliah sambil kerja juga sering menghadapi ekspektasi yang saling bertentangan. Keluarga ingin nilai tetap bagus. Kampus ingin mahasiswa aktif. Pekerjaan menuntut produktivitas. Sementara diri sendiri hanya ingin tetap waras. Ketimpangan inilah yang membuat banyak mahasiswa merasa terhimpit. Mereka tidak ingin mengecewakan siapapun, tetapi kapasitas tubuh tetap memiliki batas. Beban ini jarang dibicarakan karena dianggap bagian dari “dewasa” yang harus dijalani.
Mahasiswa perlu memahami bahwa menjalani dua peran sekaligus bukan hal yang salah, tetapi juga bukan keharusan. Tidak semua orang harus bekerja saat kuliah, dan tidak semua yang bekerja pasti lebih hebat. Setiap pilihan membawa risiko dan konsekuensinya masing-masing. Yang paling penting adalah menentukan prioritas dan mengetahui batasan agar hidup tetap seimbang. Bukan sekadar produktif, tetapi tetap sehat dan mampu menikmati proses belajar.
Kuliah sambil kerja bukan pertanyaan tentang kuat atau tidak kuat. Ini tentang bagaimana mahasiswa memahami ritme hidup yang paling sesuai bagi dirinya—tanpa harus membandingkan perjalanan dengan orang lain. Mahasiswa yang mampu menjaga keseimbangan inilah yang akhirnya dapat berkembang, tumbuh, dan melangkah menuju masa depan dengan kepala tegak.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini