Beberapa tahun terakhir, tren mahasiswa ingin menyelesaikan studi secepat mungkin semakin terlihat jelas. Banyak yang rela mengambil SKS penuh, mengikuti semester pendek, hingga mempercepat penyusunan skripsi. Alasannya beragam, mulai dari ingin segera mandiri secara finansial hingga tekanan sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar. Namun pertanyaannya: apakah benar dunia kerja menawarkan kehidupan yang lebih baik sehingga mahasiswa berlomba untuk segera meninggalkan kampus?
Keinginan cepat lulus seringkali muncul dari bayangan ideal: bekerja, punya penghasilan tetap, dan memulai hidup mandiri. Namun realita lapangan menunjukkan bahwa dunia kerja tidak selalu linear. Banyak lulusan baru harus menghadapi persaingan ketat, gaji awal yang tidak setinggi harapan, hingga tekanan pekerjaan yang menuntut adaptasi cepat. Fenomena ini membuat sebagian alumni mengakui bahwa masa kuliah justru menjadi fase paling aman dan fleksibel dalam hidup mereka. Kampus menawarkan ruang belajar tanpa risiko sebesar dunia profesional.
Salah satu faktor kuat munculnya fenomena “ingin cepat lulus” adalah tekanan biaya hidup dan kecenderungan generasi muda untuk mengejar produktivitas. Mahasiswa merasa waktu adalah aset penting dan tidak ingin tertinggal dari teman seangkatan yang sudah lebih dulu bekerja. Narasi seperti “umur 25 harus sukses” atau “segera punya karier yang mapan” membuat banyak orang merasa tidak boleh membuang waktu di kampus terlalu lama. Padahal setiap orang memiliki ritme dan perjalanan yang berbeda.
Tren ini juga menunjukkan perubahan cara mahasiswa memandang kuliah. Pendidikan tidak lagi dipahami sebagai proses pendewasaan intelektual dan pengembangan diri, tetapi sebagai tiket masuk ke dunia kerja. Dampaknya, mahasiswa lebih fokus menyelesaikan kewajiban akademik daripada menikmati proses belajar, riset, atau eksplorasi minat. Kampus pun ikut terdorong menyesuaikan kurikulum agar relevan dengan tuntutan industri, kadang sampai melupakan pentingnya pembentukan pola pikir kritis dan karakter.
Di tengah dorongan agar cepat lulus, muncul perspektif baru: tidak ada yang salah dengan ingin cepat menyelesaikan studi, tetapi penting untuk memastikan proses yang dilalui tetap bermakna. Waktu kuliah adalah kesempatan membangun kapasitas diri melalui organisasi, magang, penelitian, komunikasi, hingga jaringan profesional. Mahasiswa yang terlalu fokus pada percepatan sering melewatkan kesempatan berharga ini.
Pada akhirnya, cepat atau lambat lulus bukan penentu suksesnya karier seseorang. Yang lebih penting adalah bagaimana mahasiswa memanfaatkan setiap fase kuliah untuk menemukan arah hidup, memperkuat keterampilan, dan mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja yang dinamis. Jika lulus cepat berarti peningkatan kualitas diri, itu langkah baik. Namun jika hanya karena tekanan sosial, mungkin perlu dipikirkan kembali.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini