Mahasiswa sering dipuji sebagai generasi intelektual yang penuh potensi, tetapi realitas kampus menunjukkan wajah lain: tekanan akademik yang terus meningkat, standar prestasi yang semakin tinggi, dan kompetisi yang kian ketat membuat banyak mahasiswa merasa jalannya semakin sempit. Kritik sosial terhadap budaya akademik ini penting untuk dibahas, karena tekanan yang tidak dikelola dengan bijak bisa mengikis kesejahteraan mental dan merusak tujuan pendidikan itu sendiri.
Banyak mahasiswa tumbuh dalam budaya kampus yang meyakini bahwa stres adalah tanda perjuangan. Beban tugas yang berlapis-lapis, jadwal kuliah yang padat, serta tuntutan organisasi dianggap wajar dan bahkan menjadi standar keberhasilan. Kalimat “memang harus begini,” “sudah tradisi dari dulu,” atau “kalau nggak kuat berarti kurang usaha” sering muncul sebagai pembenaran.
Normalisasi tekanan seperti ini membuat mahasiswa sulit mengakui bahwa mereka lelah, kewalahan, atau membutuhkan bantuan. Mereka khawatir dianggap tidak kompeten atau kurang berjuang jika menunjukkan tanda-tanda kesulitan. Padahal, kualitas pendidikan bukan diukur dari seberapa keras tekanannya, melainkan dari seberapa baik ia membantu mahasiswa tumbuh.
Kampus seharusnya menjadi ruang belajar, bukan arena kompetisi yang menguras energi. Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Mahasiswa kerap dibandingkan berdasarkan IPK, sertifikat, pengalaman organisasi, hingga jumlah prestasi yang ditonjolkan. Sistem penghargaan yang sempit ini membuat banyak mahasiswa mengejar pengakuan, bukan pengetahuan.
Dalam beberapa kasus, kompetisi juga tidak diimbangi dengan dukungan memadai. Fasilitas terbatas, informasi yang tidak merata, dan akses bimbingan yang tidak optimal semakin memperlebar jurang antara mahasiswa yang mampu bersaing dan yang tertinggal. Kondisi ini menciptakan lingkungan akademik yang tidak inklusif, di mana hanya sedikit yang mampu bertahan di puncak.
Satu hal yang jarang disadari adalah bahwa mahasiswa bukan hanya pelajar. Mereka adalah individu dengan kehidupan pribadi, latar belakang keluarga, kebutuhan ekonomi, dan tanggung jawab lain di luar kampus. Namun budaya akademik sering menuntut mereka untuk mengutamakan kuliah di atas segalanya.
Tugas yang mepet, jadwal presentasi yang padat, dan kewajiban organisasi kerap memaksa mahasiswa mengorbankan waktu istirahat, relasi sosial, bahkan kesehatan. Kondisi ini menciptakan pola hidup yang tidak berkelanjutan. Ketika akademik menelan hampir seluruh ruang hidup mahasiswa, proses belajar kehilangan makna dan berubah menjadi rutinitas bertahan hidup.
Fenomena tekanan akademik sering dibahas di antara mahasiswa, tetapi jarang terdengar di level kebijakan kampus. Banyak kampus memiliki layanan konseling, tetapi realitasnya masih banyak mahasiswa yang tidak tahu cara mengaksesnya, atau merasa tidak nyaman untuk datang karena stigma.
Selain itu, tidak semua program studi menyediakan ruang konsultasi akademik yang komunikatif. Mahasiswa yang kebingungan dengan alur penulisan skripsi, perencanaan mata kuliah, atau persoalan administratif sering dibiarkan mencari solusi sendiri. Ketika suara mahasiswa tidak tersampaikan, masalah kecil bisa berubah menjadi tekanan besar yang tidak perlu.
Pendidikan harus kembali berorientasi pada pertumbuhan, bukan sekadar hasil. Lingkungan kampus yang sehat bukan hanya menyediakan ruang kelas dan kurikulum, tetapi juga ekosistem yang mendukung kesehatan mental, kesempatan belajar yang adil, serta budaya komunikasi yang terbuka.
Mahasiswa juga perlu didorong untuk melihat pendidikan sebagai perjalanan, bukan perlombaan. Belajar mengelola ekspektasi, memahami batas diri, dan mengembangkan cara belajar yang sesuai dengan karakter pribadi akan membantu mereka menjadi pembelajar yang lebih tangguh dan bermakna.
Tekanan akademik bukan sesuatu yang harus dihapus total, karena tantangan adalah bagian dari proses pendewasaan. Namun tekanan yang tidak manusiawi hanya akan menghasilkan generasi yang lelah sebelum bertumbuh. Dengan membangun kesadaran kolektif, baik mahasiswa maupun kampus dapat menciptakan budaya akademik yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini