Sudah lama muncul anggapan bahwa jurusan kuliah adalah penentu masa depan. Namun di era pekerjaan fleksibel dan ekonomi digital, banyak mahasiswa mulai mempertanyakan relevansi asumsi tersebut. Fenomena lintas karier semakin umum: lulusan teknik bekerja di dunia kreatif, lulusan ekonomi masuk ke industri teknologi, hingga lulusan sosial terjun ke dunia startup. Pertanyaan pun muncul, apakah benar jurusan masih menentukan, ataukah kita sedang memasuki era di mana skill menjadi mata uang utama?
Dunia kerja berubah jauh lebih cepat dibanding sistem pendidikan. Perusahaan kini mencari kandidat yang mampu belajar cepat, beradaptasi, dan menyelesaikan masalah kompleks. Banyak industri bahkan membuka lowongan untuk “all major” sebagai bukti bahwa mereka lebih mementingkan kemampuan daripada latar belakang akademik. Lulusan yang memiliki portofolio, sertifikasi, atau pengalaman organisasi justru dianggap lebih unggul dibanding sekadar kecocokan jurusan.
Ini salah satu pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi pendidikan. Banyak mahasiswa merasa materi kuliah tidak memadai untuk dunia profesional, terutama yang membutuhkan skill digital dan analitis. Sementara itu, para alumni menyebut bahwa mereka harus belajar ulang di luar kampus untuk memenuhi standar industri. Situasi ini memunculkan refleksi mendalam: apakah kampus terlalu fokus pada teori hingga melupakan kebutuhan praktis?
Selain skill, mindset terbukti menjadi penentu kesuksesan mahasiswa. Mereka yang memiliki pola pikir berkembang cenderung lebih berani mencoba hal baru, tidak takut gagal, dan mau menerima kritik. Mindset inilah yang mendorong mahasiswa untuk terus belajar, mengikuti perkembangan teknologi, dan berani melompat ke peluang baru. Tanpa mindset yang tepat, seseorang dengan pengetahuan tinggi pun bisa tertinggal.
Soft skill seperti komunikasi, kepemimpinan, kreativitas, dan problem solving sering menjadi pembeda nyata di dunia kerja. Banyak recruiter menyebut bahwa hard skill dapat dipelajari, tetapi soft skill membutuhkan proses panjang. Mahasiswa yang terbiasa berdiskusi, berorganisasi, atau mengerjakan proyek kolaboratif biasanya lebih cepat berkembang. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah kampus harus mulai memberi porsi besar pada pengembangan karakter?
Melihat kondisi saat ini, jelas bahwa jurusan bukan satu-satunya penentu masa depan. Skill baru terus muncul, profesi terus berubah, dan peluang dapat datang dari mana saja. Mahasiswa perlu melihat pendidikan sebagai landasan awal, bukan batasan. Yang benar-benar menentukan masa depan adalah kombinasi antara kemampuan teknis, pengalaman praktis, fleksibilitas berpikir, serta kepercayaan diri untuk menjelajah bidang baru.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini