Apakah Generasi Muda Masih Menganggap Tradisi Sebagai Bagian Dari Diri Mereka?


Muhammad Rizky
Muhammad Rizky
Apakah Generasi Muda Masih Menganggap Tradisi Sebagai Bagian Dari Diri Mereka?
Apakah Generasi Muda Masih Menganggap Tradisi Sebagai Bagian Dari Diri Mereka?

Perkembangan globalisasi dalam tiga dekade terakhir mengubah cara manusia memandang identitas budaya. Batas geografis memudar, pertukaran informasi bergerak cepat, dan budaya dari berbagai negara saling berbaur melalui media sosial, film, musik, hingga pola konsumsi sehari-hari. Dampaknya, identitas budaya yang sebelumnya diperoleh dari keluarga, komunitas, dan tradisi lokal kini berada dalam proses negosiasi terus-menerus.

Dalam kajian humaniora, identitas budaya tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang statis. Ia bersifat cair, dapat berubah sesuai pengalaman, lingkungan, dan interaksi sosial. Pertanyaannya, apakah perubahan ini memperkaya diri kita atau justru membuat identitas asli perlahan menghilang?

Apakah Generasi Muda Masih Menganggap Tradisi sebagai Bagian dari Diri Mereka?

Generasi muda tumbuh dalam lingkungan yang lebih digital, kosmopolit, dan terbuka dibanding generasi sebelumnya. Mereka mengonsumsi budaya Korea, Amerika, Jepang, atau Eropa dengan sangat mudah. Musik K-Pop, film Hollywood, dan aplikasi global menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Namun di balik keterbukaan ini, muncul kekhawatiran bahwa keterikatan terhadap tradisi mulai melemah. Banyak ahli humaniora mencatat adanya jarak emosional antara generasi muda dan budaya lokal. Mereka mengenal tradisi, tetapi tidak selalu merasakannya sebagai identitas diri. Inilah titik krusial: apakah generasi baru benar-benar meninggalkan budaya leluhur, atau hanya mengadaptasinya ke konteks modern?

Bagaimana Budaya Global Membentuk Cara Kita Berpikir?

Budaya global membawa pola pikir yang lebih individualis, rasional, dan terbuka terhadap perbedaan. Di satu sisi, hal ini memperluas wawasan dan meningkatkan toleransi. Namun di sisi lain, dominasi budaya global dapat menciptakan standar tunggal tentang apa yang dianggap keren, modern, atau berharga.

Akibatnya, banyak budaya lokal merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak tertinggal. Ciri khas tradisional diformat ulang agar lebih mudah diterima dunia internasional. Fenomena ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah kita sedang melestarikan budaya, atau sekadar mengemasnya ulang untuk memenuhi selera global?

Dapatkah Identitas Budaya Bertahan Tanpa Mengisolasi Diri dari Dunia?

Salah satu tantangan terbesar masyarakat modern adalah mempertahankan identitas tanpa menutup diri terhadap perubahan. Menurut kajian humaniora, identitas budaya tidak hilang begitu saja; ia berubah, beradaptasi, dan berkembang mengikuti zamannya.

Contohnya terlihat dalam seni, kuliner, bahasa, dan fashion. Banyak komunitas muda menciptakan karya yang memadukan unsur modern dan tradisional. Lagu daerah dikemas dalam musik elektronik, batik dipadukan dengan desain urban, bahasa daerah hidup kembali di konten digital. Adaptasi ini menunjukkan bahwa identitas budaya tetap hidup, tetapi dalam bentuk yang lebih dinamis.

Apakah Media Sosial Menjadi Ruang Pelestarian atau Pengaburan Budaya?

Media sosial memiliki dua wajah. Ia bisa mempercepat hilangnya budaya, tetapi juga dapat menghidupkan budaya yang hampir terlupakan. Banyak tradisi lokal yang viral berkat video pendek, cerita sejarah yang dibahas ulang secara kreatif, dan festival budaya yang mendapat perhatian luas secara digital.

Namun sekaligus, media sosial menciptakan budaya seragam yang menyebar dengan cepat. Tantangannya adalah menemukan cara agar identitas budaya tidak hanya hadir sebagai “konten”, tetapi tetap menjadi bagian otentik dari kehidupan masyarakat.

Masa Depan Identitas Budaya: Hilang atau Bertransformasi?

Pertanyaan terbesar selalu kembali pada hubungan manusia dengan akarnya. Identitas budaya tidak hilang selama manusia merasa terhubung dengannya. Globalisasi memang menantang, tetapi juga membuka peluang untuk memperkuat nilai lokal melalui inovasi kreatif, pendidikan, penelitian, dan ekspresi seni.

Di masa depan, identitas budaya kemungkinan besar tidak akan lagi berbentuk tunggal, melainkan berlapis: lokal, nasional, dan global. Setiap individu akan membawa bagian dari berbagai dunia dalam dirinya. Tugas generasi sekarang bukan menjaga budaya tetap sama, tetapi memastikan nilai-nilai utama—kearifan lokal, solidaritas sosial, sejarah, dan cerita leluhur—tetap hidup dalam cara yang relevan bagi zaman ini.


Tryout.id: Solusi Pasti Lulus Ujian, Tes Kerja, Dan Masuk Kuliah Banner Bersponsor

Suka

Tentang Penulis


Muhammad Rizky

Muhammad Rizky

Mahasiswa - Universitas Ma'soem

Penulis Bandung

Tulis Komentar


0 / 1000