Benarkah Produktivitas Sudah Menjadi Tekanan Sosial Baru Bagi Mahasiswa?


Muhammad Rizky
Muhammad Rizky
Benarkah Produktivitas Sudah Menjadi Tekanan Sosial Baru Bagi Mahasiswa?
Benarkah Produktivitas Sudah Menjadi Tekanan Sosial Baru Bagi Mahasiswa?

Budaya “sibuk” perlahan menjadi standar sosial di lingkungan kampus. Mahasiswa berlomba menunjukkan betapa padatnya jadwal, betapa banyaknya aktivitas yang mereka ikuti, atau betapa seringnya mereka begadang demi tugas dan organisasi. Di permukaan, kesibukan terlihat seperti simbol ambisi dan produktivitas. Namun jika ditelisik lebih dalam, fenomena ini menyimpan tekanan sosial yang tak terlihat dan sering tidak disadari oleh penghuninya sendiri.

Kampus dan Norma Baru: Semakin Sibuk Semakin Bernilai

Beberapa tahun terakhir, muncul kecenderungan bahwa mahasiswa yang dianggap “keren” adalah mereka yang selalu sibuk. Tidak cukup hanya belajar, mereka harus aktif di banyak organisasi, mengikuti berbagai lomba, bekerja paruh waktu, sekaligus membangun personal branding di media sosial.
Ironisnya, kesibukan bukan lagi pilihan, melainkan standar sosial yang diam-diam dipaksakan. Mahasiswa yang memilih fokus satu aktivitas sering dipandang kurang ambisius. Padahal, tidak semua orang memiliki energi, kondisi psikologis, atau latar belakang yang sama.

Tekanan yang Tidak Tampak: Dari FOMO hingga Burnout

Banyak mahasiswa akhirnya terdorong ikut arus karena takut tertinggal. Mereka khawatir jika CV tidak penuh kegiatan, masa depan akan tertutup. FOMO—fear of missing out—berkembang menjadi pendorong yang lebih kuat dibandingkan keinginan belajar itu sendiri.
Akibatnya, problem burnout meroket. Mahasiswa kehilangan waktu istirahat, kehilangan ruang pribadi, dan kehilangan kemampuan menikmati proses belajar. Banyak yang menjalani aktivitas tanpa makna, hanya agar terlihat produktif di mata orang lain.
Di sisi lain, media sosial memperkuat tekanan ini. Setiap unggahan pencapaian teman sebaya membuat mahasiswa lain merasa harus mengejar hal serupa agar tidak ketinggalan “perlombaan hidup”.

Ketika Kampus Secara Tidak Langsung Mendorong Kompetisi Berlebihan

Lingkungan kampus berperan besar dalam membentuk pola ini. Banyak institusi menilai “keaktifan” sebagai syarat beasiswa, syarat prestasi, syarat pengakuan.
Kegiatan organisasi yang padat sering dianggap bagian wajib dari proses belajar, meski tidak semua mahasiswa memiliki kondisi yang memungkinkan mengikuti semuanya.
Dalam kondisi seperti ini, kampus secara tidak langsung menciptakan hierarki sosial. Mereka yang memiliki waktu dan kemampuan mengikuti banyak aktivitas lebih dihargai dibandingkan mereka yang berjuang secara diam-diam, misalnya sambil bekerja untuk membiayai kuliah.
Padahal, setiap mahasiswa memiliki konteks kehidupan berbeda yang seharusnya diakui, bukan dibandingkan.

Mahasiswa Mulai Melupakan Arti Belajar yang Sesungguhnya

Dengan budaya sibuk yang terus dinormalisasi, belajar berubah menjadi kompetisi kronis. Fokus mahasiswa teralihkan dari pengembangan diri menuju pengumpulan predikat.
Mereka lebih peduli bagaimana aktivitas terlihat di CV daripada manfaatnya dalam kehidupan nyata.
Yang semakin jarang diperbincangkan adalah pertanyaan mendasar:
Apa tujuan saya melakukan semua ini?
Tanpa refleksi, kesibukan hanya menjadi rutinitas kosong yang menghabiskan energi tanpa arah.

Saatnya Mengubah Narasi Produktivitas di Kampus

Mahasiswa perlu ruang untuk tumbuh sesuai kapasitas, bukan sesuai standar tren. Produktivitas tidak harus diukur dari seberapa padat jadwal, tetapi dari seberapa bermakna proses yang dijalani.
Kampus juga perlu berperan memberikan ekosistem yang sehat. Sistem penghargaan sebaiknya tidak hanya menilai kuantitas aktivitas, tetapi kualitas kontribusi.
Lebih penting lagi, mahasiswa harus diberi ruang aman untuk memilih jalur pengembangan diri tanpa takut dicap kurang ambisius.
Salah satu langkah kecil namun penting adalah berhenti mengglorifikasi kondisi “sibuk” sebagai simbol sukses. Narasi bahwa semakin lelah seseorang, semakin besar kontribusinya, perlu ditinjau ulang. Kesehatan mental dan keseimbangan hidup sama pentingnya dengan pencapaian akademik.

Budaya sibuk tidak harus hilang, tetapi perlu ditempatkan pada proporsi yang lebih manusiawi. Kampus adalah ruang tumbuh, bukan panggung kompetisi tiada akhir. Ketika mahasiswa diberi kesempatan untuk berkembang dengan ritme yang sesuai kapasitas masing-masing, barulah makna pendidikan yang sebenarnya bisa terasa: membentuk manusia yang tidak hanya pintar, tetapi juga sadar, seimbang, dan sepenuhnya menjadi dirinya sendiri.


Tryout.id: Solusi Pasti Lulus Ujian, Tes Kerja, Dan Masuk Kuliah Banner Bersponsor

Suka

Tentang Penulis


Muhammad Rizky

Muhammad Rizky

Mahasiswa - Universitas Ma'soem

Penulis Bandung

Tulis Komentar


0 / 1000