Menekan kemandirian berpikir salah satu penyebab utama dari lemahnya kemampuan berpikir mandiri adalah pola asuh otoriter yang masih banyak diterapkan di Indonesia. Orang tua cenderung mengajarkan anak-anak mereka untuk selalu taat dan patuh dengan aturan yang diberikan tanpa memberikan ruang untuk berdialog atau membicarakan keputusan tersebut diterima atau tidak.
Dalam pola asuh otoriter, otoritas orang tua, guru, atau tokoh masyarakat hampir tidak pernah dipertanyakan. Ketika anak-anak tidak dibiasakan untuk bertanya”mengapa” atau “bagaimana kalau” kemampuan berpikir kritis mereka menjadi terhambat.
Mereka diajarkan untuk menuruti instruksi daripada mencari jalan keluar sendiri. Ini menciptakan kebiasaan di mana keputusan dan solusi lebih mudah diambil dengan mendengar nasihar orang lain dari pada berpikir sendiri.
Seiring bertambahnya usia, kebiasaan ini akan terbawa hingga dewasa. Banyak orang Indonesia lebih suka mencari arahan dari orang yang dianggap “lebih tua” daripada mengeksplorasi ide dan pemikiran mereka sendiri. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berpikir, tetapi mereka tidak merasa yakin atau diberdayakan untuk mengambil keputusan sendiri.
Contohnya, seseorang yang telah diajari sejak kecil untuk selalu mendengarkan nasihat guru tanpa mempertanyakan keabsahannya mungkin akan terus menjalankanj pola itu dalam kehidupan profesionalnya. Dalam situasi di mana inisiatif sangat diperlukan, mereka cenderung bergantung pada arahan atasan atau rekan kerja.
Sebuah contoh sederhana yang bisa kita lihat setiap hari adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Meskipun banyak orang mengetahui bahwa perilaku ini bisa menyebabkan masalah serius seperti banjir dan penyebaran penyakit, tetap saja mereka melakukannya. Mengapa?
Ini mungkin kembali ke pengaruh lingkungan sosial dan kebiasaan yang tertanam. Sebagaian orang berpikir, “kalau orang lain melakukannya, kenapa saya harus repot-repot berbeda?” budaya mengikuti arus tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang menjadi kebiasaan yang sulit diubah.
Di sisi lain, tidak ada tekanan sosial yang cukup kuat untuk mendorong perubahan perilaku ini. Ketika hukuman atau konsekuwnsi nyata dari tindakan tidak langsung terlihat, orang merasa tidak perlu berpikir lebih jauh tentang akibat dari perbuatan mereka. Ini adalah cerminan dari kebiasaan untuk tidak menggunakan akal dan logika dalam menimbang keputusan.
Namun, berpikir mandiri bisa muncul ketika seseorang mengambil risiko untuk mengikuti naluri dan akal sehatnya. Sebagai contoh, saat bermain sepak bola, seorang pemain mungkin mendapat arahan dari pelatih untuk tetap berada di posisi sayap kanan. Namun, dalam situasi tertentyu, pemain itu bisa saja perpikir bahwa berada di tengah lapangan akan memberinya peluang lebih baik untuk menerima umpan. Setelah mengikuti instingnya, ia pun berhasil mendapatkan bola dan mencetak gol.
Pengalaman semacam ini akan mengajarkan kita bhawa meskipun mengikuti arahan orang lain penting, ada saatnya di mana berpikir mendiri justru menghasilkan hasil yang lebih baik. Ini adalah pelajaran berharga yang sayangnya jarang diajarkan sejak kecil.
Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu merombak cara kita mendidik anak-anak. Anak harus diajarkan bahwa berpikir mandiri dan mempertanyakan hal-hal yang tidak masuk akal bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan langkah penting dalam pengembangan diri. Pola asuh yang telalu menekankan kepatuhan tanpa diskusi akan menghambat kemampuan mereka untuk berpikir kreatif dan kritis.
Di sekolah penting juga untukm menanamkan budaya dialog dan debat yang sehat. Guru harus perperan sebagai fasilitator pemikiran kritis, bukan hanya sebagai sumber kebenaran mutlak. Dengan cara ini, anak-anak tumbuh dengan rasa percaya diri untuk mengeksplorasi ide-ide baru dan menghadapi tantangan secara mandiri.